Enam fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan
draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada anggota Badan Legislasi
DPR, pada Selasa (06/10). Ke enam fraksi tersebut adalah Fraksi PDI-P, Fraksi
Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan,
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura. Dalam draf revisi
tersebut mengusulkan sejumlah pasal dan ayat diubah.
Hartono Harimurti menegaskan, Jika DPR memang ingin merevisi UU
KPK, maka setidaknya ada hal- hal yang harus diperhatikan. Pertama, DPR harus
mampu menjelaskan tentang tujuan yang hendak dicapai dari agenda tersebut. Jadi
jangan sekedar ingin merevisi, tetapi materi muatan yang hendak diubah justru
tidak bersinggungan dengan persoalan yang kini sedang dihadapi oleh KPK. 1.
Pembubaran KPK, 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan.
Berikut sedikit gambaran isi revisi UU KPK:
1.
Pasal 5 : Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk
untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
2.
Pasal 7 huruf d "Melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam
Undang-undang ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan
mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik
eksekutif, yudikatif, atau legislatif.”
(Padahal, dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 tahun 2002, ”KPK
mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi.”).
3.
Pasal 13 : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang:
·
melibatkan penyelenggara negara dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau penyelenggara negara;
·
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
·
Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah
melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka
dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(Pada UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, jumlah nominal
kerugian sebagai kriteria untuk melimpahkan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian
tidak disebut. Bahkan, Pasal 8 (2) menyebut "Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”).
4.
Pasal 14 Ayat (1) huruf a : KPK berwenang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan
yang cukup denga izin dari ketua pengadilan negeri.
(Dalam Pasal 12 (1) huruf a UU No.30 Tahun 2002 disebutkan,
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam
pembicaraan.”).
5.
Pasal 53 (1) : Penuntut adalah jaksa yang berada
di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP
untuk melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim.
(Dalam pasal 51 (1) UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Penuntut
adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”).
Pertimbangan DPR adalah agar tidak terjadi benturan
kewenangan antara Polisi dan KPK. Tetapi sayangnya tidak menjawab persoalan
yang kini sedang dihadapi oleh KPK. Konflik antara KPK dan Polri sekarang ini
bukan disebabkan karena adanya perselisihan kewenangan diantara kedua institusi
itu.
Menurut Hartono, kalau DPR mengira pangkal dari kasus
KPK-Polri adalah karena adanya benturan kewenangan, maka tidak perlu merevisi
UU KPK, sebab negara ini sudah punya instrumen ketatanegaraan untuk
menyelesaikan masalah tersebut, yaitu melalui pengajuan Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Jadi, kejelasan tujuan dari
rencana revisi UU KPK itu menjadi hal pokok yang harus diperhatikan oleh DPR.
Jangan sampai masalahnya di perut, tetapi yang diberikan malah obat sakit
kepala. Juga jangan lupa kalau kita punya MK,” kata Hartono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar