Kamis, 25 Februari 2016

INILAH ISI UU KPK YANG INGIN DIREVISI DPR


Enam fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada anggota Badan Legislasi DPR, pada Selasa (06/10). Ke enam fraksi tersebut adalah Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura. Dalam draf revisi tersebut mengusulkan sejumlah pasal dan ayat diubah.

Hartono Harimurti  menegaskan, Jika DPR memang ingin merevisi UU KPK, maka setidaknya ada hal- hal yang harus diperhatikan. Pertama, DPR harus mampu menjelaskan tentang tujuan yang hendak dicapai dari agenda tersebut. Jadi jangan sekedar ingin merevisi, tetapi materi muatan yang hendak diubah justru tidak bersinggungan dengan persoalan yang kini sedang dihadapi oleh KPK. 1. Pembubaran KPK, 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan.

Berikut sedikit gambaran isi revisi UU KPK:
1.       Pasal 5 : Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

2.       Pasal 7 huruf d "Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Undang-undang ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, atau legislatif.”

(Padahal, dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 tahun 2002, ”KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”).

3.       Pasal 13 : Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang:
·         melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
·         menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

·         Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(Pada UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, jumlah nominal kerugian sebagai kriteria untuk melimpahkan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian tidak disebut. Bahkan, Pasal 8 (2) menyebut "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”).

4.       Pasal 14 Ayat (1) huruf a : KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup denga izin dari ketua pengadilan negeri.

(Dalam Pasal 12 (1) huruf a UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”).

5.       Pasal 53 (1) : Penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim.

(Dalam pasal 51 (1) UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”).

Pertimbangan DPR adalah agar tidak terjadi benturan kewenangan antara Polisi dan KPK. Tetapi sayangnya tidak menjawab persoalan yang kini sedang dihadapi oleh KPK. Konflik antara KPK dan Polri sekarang ini bukan disebabkan karena adanya perselisihan kewenangan diantara kedua institusi itu.

Menurut Hartono, kalau DPR mengira pangkal dari kasus KPK-Polri adalah karena adanya benturan kewenangan, maka tidak perlu merevisi UU KPK, sebab negara ini sudah punya instrumen ketatanegaraan untuk menyelesaikan masalah tersebut, yaitu melalui pengajuan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Jadi, kejelasan tujuan dari rencana revisi UU KPK itu menjadi hal pokok yang harus diperhatikan oleh DPR. Jangan sampai masalahnya di perut, tetapi yang diberikan malah obat sakit kepala. Juga jangan lupa kalau kita punya MK,” kata Hartono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar